SKNEWS, OPINI – Pernyataan Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang mengingatkan para orang tua agar tidak terlalu mencampuri sistem pendidikan sekolah menuai perhatian publik. Dalam berbagai forum, KDM menyoroti fenomena meningkatnya campur tangan orang tua mulai dari urusan nilai, kebijakan sekolah, hingga metode disiplin guru terhadap siswa.
Sebagian pihak menilai pernyataan itu sebagai bentuk pembelaan terhadap otonomi lembaga pendidikan, namun sebagian lain menganggapnya sebagai kritik terhadap sikap orang tua yang berlebihan.
Dari perspektif hukum, isu ini menarik dikaji karena menyangkut batas antara hak partisipasi masyarakat dan kewenangan lembaga pendidikan formal.
Sistem pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Pasal 3 UU ini menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan serta membentuk watak dan peradaban bangsa, sedangkan Pasal 4 menegaskan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia.
Pendidikan bersifat kolektif melibatkan tiga unsur utama: Pemerintah dan pemerintah daerah, sebagai pengatur dan penanggung jawab utama kebijakan pendidikan; Sekolah atau satuan pendidikan, sebagai pelaksana teknis dan pengelola sistem belajar; Orang tua dan masyarakat, sebagai mitra pendukung yang memberikan kontribusi dalam pembinaan dan pengawasan.
Namun, hubungan ketiganya diatur dengan batas hukum yang jelas. Orang tua memang memiliki hak untuk ikut serta, tetapi tidak untuk mengintervensi kewenangan profesional lembaga pendidikan.
UU Sisdiknas dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: “Orang tua berhak berperan dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
” Sementara Pasal 54 ayat (1) mengatur bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan. Namun, kata kunci dalam kedua pasal ini adalah “berperan serta”, bukan “mengendalikan”.
Dalam praktiknya, banyak orang tua yang menafsirkan hak partisipasi secara luas bahkan melampaui batas hukum dengan cara: Menekan guru untuk mengubah nilai anaknya; Menentang hukuman disiplin tanpa memahami konteks pedagogisnya; Menyerang reputasi guru atau sekolah melalui media sosial.
Dari sudut pandang hukum, tindakan seperti ini dapat masuk kategori pelanggaran etika publik, dan bila disertai ancaman atau pencemaran nama baik, dapat dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Guru dan sekolah memiliki otonomi profesional dalam melaksanakan proses pendidikan. Hal ini dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 39 ayat (1), yang menegaskan bahwa guru berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.
Selain itu, Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan juga menegaskan bahwa: “Guru berhak mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan, intimidasi, ancaman, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain.”
Dengan demikian, ketika orang tua bertindak secara berlebihan hingga mengganggu independensi guru, negara wajib hadir untuk melindungi tenaga pendidik.
KDM dalam konteks ini sebenarnya sedang mengingatkan pentingnya keseimbangan peran antara rumah dan sekolah.
Pendidikan anak tidak bisa dilepaskan dari kerja sama orang tua dan guru, tetapi kerja sama itu harus berbasis rasa saling percaya dan rasa hormat terhadap otoritas profesional.
Intervensi yang berlebihan justru menurunkan kualitas pendidikan karena: Menghilangkan wibawa guru sebagai figur pendidik; Menghambat proses pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan akademik, bukan emosional; Membingungkan siswa, karena mereka melihat kontradiksi antara arahan guru dan orang tua.
Dalam kerangka hukum administrasi pendidikan, sekolah adalah lembaga publik yang bekerja di bawah norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh negara.
Maka, setiap keputusan akademik, nilai, atau kebijakan disiplin yang diambil sekolah memiliki dasar hukum dan tidak dapat diganggu gugat tanpa mekanisme resmi.
KDM sebenarnya sedang menegaskan prinsip “educational governance” di mana semua pihak menjalankan peran sesuai hukum dalam konteks tata kelola pendidikan yang sehat. Dalam perspektif hukum pendidikan modern, peran orang tua yang sehat bukanlah menjadi hakim bagi sekolah, melainkan partner kritis yang cerdas dan konstruktif.
Peringatan Kang Dedi Mulyadi seharusnya tidak dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap peran orang tua, tetapi sebagai ajakan untuk menempatkan peran itu secara proporsional dalam koridor hukum dan etika pendidikan.
Hukum telah memberi ruang bagi partisipasi orang tua, tetapi juga menegaskan batas agar dunia pendidikan tetap berdaulat secara profesional.
Sekolah bukan musuh orang tua, dan guru bukan bawahan wali murid. Keduanya adalah mitra dalam mencerdaskan bangsa. Ketika masing-masing pihak memahami batas hukumnya, maka pendidikan akan tumbuh di atas dasar keadaban, kepercayaan, dan keadilan sosial.


















